8 Des 2011

Puisi untukmu seorang, kutuliskan atas jasamu sebagai Guru Pengawasku

suaranya begitu menggetarkan nadiku
jaantungku berdebar .. bak bedug terkendang
tatapannya pancarkan ..
keterpikatan  tersendiri dari lubuk hatiku yang dalam
keterpikatan buatku ingin membelai rambutnya yg brgelombang
membelai dan tak akan kulepas
kubelai sekeras engkau mengawasiku
kapan lagi Tuhan pertemukan aku dengannya?
oh aku sungguh rinduu T.T
rindu bibirnya menggiurkan
ingin kuciumkan padanya .. sepatuku tersayang
bibir yang berjasa mengarahkanku pada jalan kebenaran

oh Tuhan..kirim malaikatmu tuk bisikkan padanya
diriku disini menanti
momen yang ku inginkan
seingin aku mendapati surgaMu

kudamba ini kan terjadi Tuhan
inginku bahagiakan keluarganya
anak cucunya merasa apa yang kurasa kali ini

LIHATLAH DISINI
JEMARI YANG KUTUNJUKKAN PADAMU SEORANG
-->
凸(•╭╮•)凸
yuppy, beres deh!
-->LOE ( 'o' )┎ , GUE ( '_' ) = END ┒(˛)

2 Des 2011

Nasihat Untuk Roziq

Kiranya inilah hikmah Idul Fitri kali ini yang bisa kuambil, buah gemblengan sebulan berpuasa agar menjadi orang yang sabar, ikhlas Kiranya inilah hikmah Idul Fitri kali ini yang bisa kuambil, buah gemblengan sebulan berpuasa agar menjadi orang yang sabar, ikhlas dan
Braakk!!
Tas yang dilemparkan Roziq mendarat tepat di sofa ruang tamu. Aku dan ibu yang tengah membaca majalah seketika terkejut dan mengelus dada.
“Roziq! Apa-apaan sih, Kamu?!” tanya ibu sedikit kesal.
Roziq cengengesan sambil bersandar pada sofa di sebelah ibu.
“Kalau masuk rumah, yang baik itu salam dulu. Jangan main selonong aja, Sayang!” nasihat ibu.
“Biarpun masuk rumah sendiri, Bu?” tanya Roziq.
“Biarpun masuk rumah sendiri tetap mengucapkan salam. Ketika berpamitan atau mau berangkat ke sekolah, ketika berjumpa teman sesama muslim, kita juga hendaknya mengucapkan salam. Karena salam itu merupakan doa,” papar ibu.
“Assalamu’alaikum itu artinya apa sih, Bu?” tanya Roziq.
“Assalamu’alaikum itu artinya semoga keselamatan tercurah atas kamu sekalian. Kemudian yang diberi salam wajib membalasnya, wa’alaikumussalam. Lebih bagus kalau menjawabnya lengkap, wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Artinya, semoga keselamatan, rahmat ALLAH SWT. dan berkahan-Nya juga tercurahkan kepada kamu sekalian. Itu doa yang bagus lho!” ibu mengajarkan.
“Kalau menjawabnya tidak lengkap tidak apa-apa kan, Bu?” Roziq terus bertanya.
“Ya tidak apa-apa. Tapi bukannya lebih baik kalau kita dikasih sesuatu membalasnya dengan lebih banyak. Jadi pahalanya nanti juga lebih banyak,” kata ibu menjelaskan dengan sabar.
“Bu, Roziq ngantuk!” kata Roziq sambil berjalan menuju kamar tidurnya.
“Roziq boleh tidur tapi tasnya dibawa dulu ke kamar, simpan yang rapi. Jangan main lempar! Ganti baju, cuci tangan, cuci kaki dan jangan lupa baju seragamnya digantung yang rapi!” perintah ibu meminta syarat.
“Tapi, Bu,” protes Roziq.
“Tidak ada tapi-tapian. Ibu tidak mau kalau anak Ibu tidak nurut sama Ibu. Ibu mau anak Ibu pinter, tekun, rajin dan rapi dalam segala hal,” ibu balik memprotes tapi tetap dengan suaranya yang lembut.
Melihat adikku masih malas-malasan, aku meneruskan kata-kata ibu, “Adik, ALLAH  itu sangat menyukai keindahan. Kebersihan itu itu adalah sebagian dari iman. Bukankah rapi dan bersih itu indah? Kalau kamar Kamu berantakan, nanti ALLAH enggan mengirim malaikat-Nya ke sana. Kalau malaikat tidak ada di sana, nanti syaitan akan leluasa menggoda Kamu. Roziq mau jadi temannya syaitan?”
“Tapi kan ada bibi Minah, Kak’” rengek Roziq manja.
 
 “Bibi Minah sudah setiap hari membereskan kamarmu. Tapi Kamu selalu saja membuatnya berantakan lagi. Seharusnya Adik menghargai pengorbanan bibi Minah. Setidaknya dengan meletakkan kembali barang-barang yang habis dipakai pada tempatnya semula dan meletakkan baju kotor di keranjang cucian. Itu sudah membantu. Kasihan bibi Minah, kerjanya bukan cuma mengurus kamarmu saja,” tuturku terus menasihati.
“Baiklah, Kak. Akan Roziq coba,” ucap Roziq lirih. Kemudian mengambil tasnya yang tergeletak di sofa dan masuk ke dalam kamarnya. Menuruti perintah ibu sampai akhirnya dia bisa melanjutkan tidur.
Esok paginya ibu tersenyum bahagia melihat kamar Roziq yang kelihatan lebih rapi dibandingkan hari-hari sebelumnya yang selalu berantakan ketika ditinggal sekolah penghuninya.
®®®
Derit kereta dorong yang melaju memecah kesunyian di tengah malam. Melewati koridor rumah sakit, belokan demi belokan sampai akhirnya berhenti dan masuk ke dalam suatu ruangan. Masih terdengar suara rintihan adikku menahan rasa perih. “Sakit...sakit..hu..hu..”
Perlahan para perawat memindahkan Roziq dari kereta dorong ke tempat tidur. Aku berdiri di samping tempat tidurnya. Tak ada yang bisa aku lakukan. Sementara rintih tangis masih terdengar namun sedikit mulai lirih dan akhirnya Roziq pun tertidur. Mungkin pengaruh obat tidurnya sudah mulai bereaksi.
Aku beranjak keluar, mencari tempat duduk yang sekiranya bisa membuatku tenang dari kegundahan ini. Kutarik nafas panjang, terasa pilu menyayat rasa di hati ini. Suara takbir mendayu –dayu sesekali samar terdengar. Tergambar ulang beberapa waktu berselang. Ketika jerit suara bocah hampir bersamaan dengan suara keras petasan di samping rumahku. Memang lapangan samping rumah yang biasanya digunakan untuk bermain voli, namun untuk untuk bulan Ramadhan kini kian ramai oleh suara anak-anak bermain selepas salat tarawih.
Tidak seperti biasanya, hari ini ada keributan yang tidak seperti biasanya. Aku berhambur keluar rumah, dan kulihat segerombol anak mengerumuni seorang anak yang menangis keras. Kuseruak untuk melihat apa yang terjadi dan ternyata, Astaghfirullah! Darah hampir menutupi wajah adikku. Ada apa ini? Siapa yang melakukan ini? Kulihat sekelebat seorang bocah berlari ketakutan menuju rumahnya. Bisa kutahu siapa dia.
“Rozaq...,” suara ibu membuyarkan lamunanku. Ternyata adikku sudah siuman. Kutengok masuk dan terdengar rintih tangisnya lagi. “Cup jangan menangis, anak lelaki tak boleh cengeng,” hiburku.
Rasanya sulit menjadi pemaaf. Dion, ya.. dion. Andai saja malam itu aku melarang Roziq bermain dengan bocah yang terkenal badungnya di kampung tinggalku itu, tentu adikku tidak akan ada di rumah sakit ini dan tidak akan ada cacat di mukanya.
Pagi pun menjelang, sudah tidak terpikirkan lagi kalau ini adalah hari kemenangan bagi umat muslim. Tapi yang kurasa pagi hari ini adalah saat yang paling menyedihkan.
“Assalamu’alaikum.” Kumenoleh ke arah datangnya suara dan menjawab salam. Ternyata keluarga Dion datang menjenguk. Serba kikuk perasaanku. Bagaimana aku bisa menyembunyikan perasaanku yang bercampur aduk ini. Tapi kedatangan mereka sudah merupakan bukti keprihatinan dan rasa bersalah atas kesalahan dan kekurangan mereka mendidik anak.
Kiranya inilah hikmah Idul Fitri kali ini yang bisa kuambil, buah gemblengan sebulan berpuasa agar menjadi orang yang sabar, ikhlas, dan pemaaf.